Beranda

Kontak

Kontribusi

 

Tahukah Anda...

Museum Serangga, TMII, Jakarta memiliki awetan kering kupu-kupu Papilio blumei yang disebut-sebut karena keindahannya dalam "Laskar Pelangi"

 

Kategori Museum

 

  Arkeologi (7)

 

  Benteng (3)

 

  Biologi (9)

 

  Geologi (4)

 

  Lain-lain (8)

 

  Militer (4)

 

  Negeri/Daerah (19)

 

  Pribadi (7)

 

  Sejarah (14)

 

  Seni (7)

 

  Tokoh (14)

 

  Transportasi (3)

   
Publikasi Terkini
 
Pencarian
 

  
Berlangganan Berita
 

  



Pinang di depan Museum Seni Rupa dan Keramik

 

Pengantar | Komentar | Galeri Foto


V_vredeburg.jpg

MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA

Sejarah Singkat
Benteng pertama kali dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I atas permintaan Belanda yang pada masa itu Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa dipimpin oleh Nicolaas Harting. Adapun maksud bangunan benteng dibangun dengan dalih untuk menjaga keamanan keraton dan sekitarnya, akan tetapi dibalik itu maksud Belanda yang sesungguhnya adalah memudahkan dan mengontrol segala perkembangan yang terjadi didalam keraton. Benteng pertama kali dibangun keadaannya masih sangat sederhana, temboknya hanya dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren, dan bangunan didalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap hanya ilalang, dibangun dengan bentuk bujur sangkar, yang di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut itu diberi nama Jaya Wisesa (sudut barat laut), Jaya Purusa (sudut timur laut), Jaya Prakosaningprang (sudut barat daya), dan Jaya Prayitna (sudut tenggara).

Kemudian pada masa selanjutnya, Gubernur Belanda yang dipimpin oleh W.H. van Ossenberg mengusulkan agar benteng dibangun lebih permanen agar lebih menjamin keamanan. Kemudian tahun 1767, pembangunan benteng mulai dilaksanakan dibawah pengawasan seorang ahli ilmu bangunan dari Belanda yang bernama Ir. Frans Haak dan pembangunan baru selesai tahun 1787, hal ini dikarenakan Sultan HB I sedang disibukkan dengan pembangunan keraton. Setelah pembangunan benteng selesai kemudian diberi nama 'Rustenberg' yang berarti benteng peristirahatan. Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga mengakibatkan rusaknya sebagian bangunan benteng. Setelah diadakan perbaikan, nama benteng diubah menjadi 'Vredeburg' (benteng perdamaian). Hal ini sebagai manifestasi hubungan antara Belanda dan keraton yang tidak saling menyerang.

Secara historis sejak awal berdiri sampai sekarang mengalami perubahan atas status kepemilikan dan fungsi benteng, yaitu:

  1. Tahun 1760-1765, pada awal pembangunannya status tanah tetap milik keraton, tetapi pengunaannya dibawah pengawasan Nicolaas Harting, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.
  2. Tahun 1765-1788, status tanah secara formal tetap milik keraton, tetapi penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda dibawah Gubernur W.H. Ossenberg.
  3. Tahun 1788-1799, status tanah tetap milik keraton, kemudian pada masa ini benteng digunakan secara sempurna oleh VOC.
  4. Tahun 1799-1807, status tanah secara formal tetap milik keraton, dan penggunaan benteng secara de facto menjadi milik pemerintah Belanda dibawah Gubernur van de Burg.
  5. Tahun 1807-1811, secara formal tanah tetap milik keraton, kemudian secara de facto benteng menjadi milik Belanda dibawah pengawasan Gubernur Daendels.
  6. Tahun 1811-1816, secara yuridis benteng tetap milik keraton, kemudian secara de facto dikuasai oleh Inggris dibawah pengawasan Gubernur Jenderal Raffles.
  7. Tahun 1816-1942, status tanah tetap milik keraton dan secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda, sampai menyerahnya Belanda ditangan Jepang dan benteng kemudian dikuasai sepenuhnya oleh Jepang, yang ditandai dengan Perjanjian Kalijati di Jawa Barat, Maret 1942.
  8. Tahun 1942-1945, status tanah tetap milik keraton, tetapi secara de facto dipegang oleh Jepang sebagai markas tentara kempeitai, gudang mesiu, dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo-Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.
  9. Tahun 1945-1977, status tanah tetap milik keraton, setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945, benteng diambil alih oleh instansi militer RI. Tahun 1948 sempat diambil alih sementara oleh Belanda pada waktur agresi Belanda kedua dan kemudian setelah adanya Serangan Umum 1 Maret 1949, benteng dibawah pengelolaan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia)
  10. Tahun 1977-1992, dalam periode ini status pengelolaan benteng diserahkan dari pihak Hankam kepada Pemerintah Daerah Yogyakarta dan tanggal 9 Agustus 1980 diadakan perjanjian tentang pemanfaatan bangunan bekas Benteng Vredeburg antara Sri Sultan HB IX dengan Mendikbud Dr. Daud Jusuf. Dan hal ini dikuatkan dengan pernyataan Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984 bahwa bekas Benteng Vredeburg akan difungsikan sebagai sebuah museum. Kemudian tahun 1985 Sri Sultan mengizinkan diadakannya perubahan bangunan sesuai dengan kebutuhannya untuk sebuah museum dan tahun 1987, museum benteng baru dibuka untuk umum. Mengenai status tanah pada periode ini tetap miliki keraton atau Kasultanan Yogyakarta.
  11. Tahun 1992 sampai sekarang, berdasarkan SK Mendikbud RI Profesor Fuad Hasan No. 0475/0/1992 tanggal 23 November 1992 secara resmi Benteng Vredeburg menjadi Museum Khusus Perjuangan Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta yang menempati tanah seluas 46.574 meter persegi. Kemudian tanggal 5 September 1997 dalam rangka peningkatan fungsionalisasi museum, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapat limpahan untuk mengelola Museum Perjuangan Yogyakarta di Brontokusuman Yogyakarta berdasarkan SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: KM. 48/OT.001/MKP/2003 tanggal 5 Desember 2003.

Koleksi Museum
Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta menyajikan koleksi-koleksi sebagai berikut:

A. Koleksi Bangunan:

  1. Selokan atau parit, dibuat mengelilingi benteng yang pada awalnya dimaksudkan sebagai rintangan paling luar terhadap serangan musuh yang kemudian pada perkembangan selanjutnya karena sistem kemiliteran sudah mengalami kemajuan hanya digunakan sebagai sarana drainase atau pembuangan saja.
  2. Jembatan, pada awalnya dibuat jembatan angkat (gantung), tetapi karena berkembangnya teknologi khususnya kendaraan perang kemudian diganti dengan jembatan yang paten.
  3. Tembok (benteng), lapisan pertahanan sesudah parit adalah tembok (benteng) yang mengelilingi kompleks benteng, berfungsi sebagai tempat pertahanan, pengintaian, penempatan meriam-meriam kecil maupun senjata tangan.
  4. Pintu gerbang, dibangun sebagai sarana keluar masuk di kompleks benteng. Pintu gerbang tersebut berjumlah tiga buah yaitu di sebelah barat, timur, dan selatan. Tetapi khusus sebelah selatan hanya dibuat lebih kecil saja.
  5. Bangunan-bangunan di dalam benteng (di bagian tengah benteng) yang berfungsi sebagai barak prajurit dan perwira, yang kemudian pada perkembangan selanjutnya difungsikan sebagai tangsi militer.
  6. Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949.

B. Koleksi Realia, merupakan koleksi yang berupa benda (material) yang benar-benar nyata bukan tiruan dan berperan langsung dalam suatu proses terjadinya peristiwa sejarah. Antara lain berupa: peralatan rumah tangga, senjata, naskah, pakaian, peralatan dapur, dan lain-lain

C. Koleksi foto, miniatur, replika, lukisan, dan atau benda hasil visualisasi lainnya.

D. Koleksi adegan peristiwa sejarah dalam bentuk diorama, yaitu:

  1. Ruang Diorama I, terdiri dari 11 buah diorama yang menggambarkan peristiwa sejarah yang terjadi sejak periode Perang Diponegoro sampai masa pendudukan Jepang di Yogyakarta (1825-1942)
  2. Ruang Diorama II, terdiri dari 19 buah diorama yang menggambarkan peristiwa sejarah sejak Proklamasi atau awal kemerdekaan sampai dengan Agresi Militer Belanda I (1945-1947)
  3. Ruang Diorama III, terdiri dari 18 buah diorama yang menggambarkan peristiwa sejarah sejak adanya Perjanjian Renville sampai dengan pengakuan kedaulatan RIS (1948-1949)
  4. Ruang Diorama IV, terdiri dari 7 buah diorama yang menggambarkan peristiwa sejarah periode Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai Masa Orde Baru (1950-1974)

Fasilitas Baru
Ruang Pengenalan

Ruang ini berfungsi sebagai studio mini dengan kapasitas kurang lebih 50 orang, yang memutar film-film dokumenter dengan durasi 10-15 menit. Pengunjung museum dapat menyaksikan film-film tersebut sambil beristirahat sebelum melanjutkan kunjungan ke ruang-ruang diorama.

 

Media interaktif
Mulai tahun 2012 ini, di Diorama I dan II dilengkapi dengan sarana media interaktif yaitu berupa media layar sentuh. Pengunjung dapat menggunakan media ini untuk mengetahui sejarah suatu peristiwa secara lebih luas lagi.

 

Ruang Audiovisual untuk Pemutaran Film Perjuangan
Tepatnya di Gedung F, lantai 2, saat ini para pengunjung dapat menikmati sajian film-film perjuangan koleksi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Film-film tersebut diputar setiap hari Jumat jam 13.00 WIB dan hari Minggu jam 10.00 dan 13.00 WIB pada minggu kedua, ketiga, dan keempat setiap bulan dengan jadwal film yang berbeda.

Sumber: Brosur 'Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta'

Alamat:
MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA
Jalan Jenderal A. Yani (Margo Mulyo) No. 6
Yogyakarta

Telp. 0274 - 586 934

http://www.vredeburg.web.id

Jam Kunjungan:
Selasa - Kamis 07.30-16.00
Jumat - Minggu 07.30-16.30

Tiket:
Dewasa Rp 2.000
Anak-anak Rp 1.000
Asing Rp 10.000

 

 

 
  Copyright © 2009-2020 Museum Indonesia. Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang.