
Museum Masjid Agung Demak, Demak, Jawa Tengah
|  |

MUSEUM SEJARAH JAKARTA
Setelah Museum Nasional Indonesia, berikut yang paling sering aku sambangi adalah Museum Sejarah Jakarta. Pertama, karena mudah dicapai. Cukup dengan sekali lompatan ke bus transjakarta dari halte sepanjang Jalan Sudirman maupun Thamrin, di terminal terakhir museum sudah tinggal sepelemparan batu.
Kedua, museum tiga abad silam adalah Stadhuis alias Balai Kota Batavia. Citarasa tempo doeloe yang dihadirkannya jelas autentik. Tempat ini dahulu bayangkan sibuknya seperti apa. Orang-orang datang untuk membereskan segala persoalan. Dari urusan administrasi seperti legalisir kontrak, mendaftarkan pernikahan, mengurus surat izin usaha, izin bangunan, jual-beli kapal, dan lain-lain, hingga peranan gedung sebagai pengadilan, penjara, maupun tempat ibadah umat Kristen (1622-1640). Di halamannya, eksekusi hukuman mati berlangsung tak terhingga banyaknya.
Semua yang hidup pada masa itu sudah mati sekarang. Masa silam tak memiliki bayangan, napas-napas tak tinggalkan jejak. Hanya manusia dengan memori dan imajinasinya.

PATUNG HERMES
MUSEUM SEJARAH JAKARTA: TAMAN BELAKANG Lainnya, museum menarikku adalah selalu ada yang baru untuk ditemukan di sini. Aku masih ingat saat pertama ke museum karena hendak melihat Patung Hermes meski repro karya Giambologna (1529-1609). Dalam mitologi Yunani, Hermes adalah perantara Dewa Zeus. Hermes antara lain terkenal sebagai pembunuh Argus Panoptes yang memiliki seratus mata. Konon mata-mata Argus kemudian dipasangkan ke ekor burung merak sehingga jadilah seperti yang kita lihat sekarang.
Patung Hermes terletak di taman belakang berhadapan dengan Meriam Jaguar dan penjara bawah tanah. Penjara ini pernah disebut dalam Tjerita Njai Dasima karya G. Francis. Dikisahkan Poasa jago Kampung Kwitang ditangkap atas tuduhan membunuh Dasima. Poasa lalu dijebloskan ke sel gelap di belakang Gedung Bicara, '...abis si Moesanip bersama-sama bininja si Mida dan si Koentoem bersaksiken toendjoek dia jang berboeat baroe dia mengakoe, lantas dia dibawa ke Kota, dimasoekin ke dalem boei glap di blakang Gedong Bitjara.'
Menurut Adolf Heuken nama Gedung Bitjara berasal dari diskusi-diskusi penting yang telah berlangsung di gedung ini selama ratusan tahun keberadaannya. Sedangkan Pramoedya Ananta Toer dalam catatan kaki Tjerita Nyai Dasima menerangkan 'bitjara, perkara: gedong bitjara, pengadilan' (Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia, 2003).
Sering dikatakan Dipanegara dalam perjalanan ke tempat pengasingan di Sulawesi pernah disekap di penjara Balai Kota (Stadhuis) ini. Benar, tetapi bukan di sel bawah tanah melainkan ruang penjara di lantai dua sayap timur.

MONUMEN PIETER ERBERVELD
Di taman belakang masih terdapat Monumen Pieter Erberveld. Kisah monumen ini berawal dari tuduhan pemerintah Hindia Belanda terhadap saudagar kaya Pieter Erberveld. Konon Erberveld berencana membunuh orang-orang Eropa di Batavia dengan menggerakkan orang-orang Jawa. Oleh sebab itu pada 22 April 1722, Erberveld dijatuhi hukuman mati dengan ditarik kuda keempat penjuru.
Namun ada juga cerita lain. Henric Zwaardecroon Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada waktu itu konon menginginkan sebidang tanah yang sangat luas di sebelah timur Gereja Sion yang dimiliki Erberveld. Erberveld menolak menjual rumah, tanah, kebun, dan tamannya kepada Gubernur Jenderal. Setelah kematian Erbeveld, tanah yang luas itu berhasil dimiliki Zwaardecroon.
Setelah kematiannya, kepala Erberveld dipenggal, kemudian ditancapkan ke atas monumen sebagai peringatan kepada orang-orang yang hendak melakukan makar. Tertulis antara lain di monumen dalam bahasa Belanda dan Jawa (Heuken, 2007), ...as a detestable memory of the punished traitor Pieter Erberveld nobody shall now or ever be allowed to build, to carpenter, to lay bricks, or to plant in this place. Batavia, 14th of April 1722.
Monumen Erberveld didirikan pada tanggal 14 April 1722. Padahal hukuman mati kepada Pieter Erberveld baru dijatuhkan pada tanggal 22 April 1722. Nil novum sub soli Heuken menyebutnya. There is nothing new under the sun.

PRASASTI STADHUIS
MUSEUM SEJARAH JAKARTA: LANTAI I Sesuai nama museum maka koleksi dibagi kedalam beberapa periode untuk mencerminkan sejarah perkembangan kota Jakarta.
- Jakarta Masa Kini: becak, gerobak bakso, kios, foto-foto gubernur DKI Jakarta
- Zaman Prasejarah: peta lokasi situs prasejarah dan aneka hasil penggaliannya.
- Masa Kerajaan Tarumanegara (abad IV-VII): replika prasasti Ciaruteun, Kebun Kopi, Jambu, dan arca Ganesha, Wisnu, Durga
- Masa Kerajaan Sunda (VIII-XVII): Prasati Tugu, rupa-rupa komoditas dagang (lada putih, lada hitam, pala, asam, nila, gading gajah), serta koleksi dari dunia Baduy seperti pakaian, dapur, kolenjer (kalendar). Aku pernah dolan ke Cibeo, Baduy Dalam. Saat itu puncak hujan meteor Perseids, Agustus 2008. Hampir dua tahun kemudian (20 April 2010), giliranku disamperi teman-teman dari Baduy. Mereka menempuh jarak sekitar 170-an km dengan berjalan kaki karena naik kendaraan dilarang adat. Mereka menginap semalam di rumah. Aku menunjukkan tulisan di Kompas Istirahat batin di Baduy. Baduy kerap dianggap terpencil. Tetapi sekali-kali mainlah ke sana. Kita akan tahu mereka memiliki lumbung-lumbung padi yang berisi dan sungai yang airnya jernih.
- Masa Kedatangan Portugis: miniatur kapal-kapal, replika padrao (prasasti perjanjian Kerajaan Sunda-Portugis, 1522), contoh surat perjanjian dengan Portugis
Ruang pameran di sayap timur didominasi Serangan Mataram ke Batavia lukisan raksasa karya S. Sudjojono. Di kanan-kiri terdapat masing-masing Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) dan Sultan Agung (1593-1645).

LANTAI II
MUSEUM SEJARAH JAKARTA: LANTAI II Koleksi di lantai dua didominasi oleh furnitur dari abad ke-17 dan ke-18. Aneka jenis lemari, meja, kursi, tempat tidur, ayunan bayi, sketsel/penyekat ruangan dipamerkan. Dibuat di Batavia, Banten, Cirebon, Maluku, Srilanka, India, Belanda dari kayu-kayu seperti amboina, eboni, sawo, jati. Sebagian besar koleksi dikumpulkan oleh L. Serrurier, V.I. van de Wall, dan Th. van der Hoop untuk Batavian Society of Arts and Sciences sejak 1896.
Museum memiliki koleksi lengkap potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari Coen (1619-1623) hingga Starkenborgh-Stachouwer (1936-1942). Namun hanya dua yang dipamerkan yaitu lukisan potret Coen di lantai satu dan van der Parra di lantai dua tepatnya di ruang sidang Dewan Pengadilan (Raad van Justitie).
Di kemudian hari Dewan Pengadilan pindah ke bangunan (selesai dibangun 1870) yang sekarang menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik. Selanjutnya ruangan ini digunakan sebagai tempat upacara pernikahan. Namun seperangkat meja dan kursi yang pernah digunakan pada saat sidang Dewan Pengadilan, sekarang dikembalikan lagi ke sini untuk menunjukkan fungsinya sebagai ruang sidang pada suatu ketika.
Di sini jutaan nasib orang pernah ditentukan oleh orang-orang yang pernah duduk di kursi ini.

SINGA DARI (TAMAN) HERTOGSPARK
Percaya atau tidak, banyak singa 'berkeliaran' di Museum Sejarah Jakarta. Singa pertama menyambut pengunjung di tangga menuju lantai dua. Si singa mirip-mirip barongsai atau singa penjaga kelenteng. Dengar-dengar karena tangga dibuat oleh tukang-tukang orang China.
Kedua, singa batu di samping pintu masuk ruang pameran Jakarta Masa Kini. Singa londo ini memegang simbol kota Batavia (1620-1942). Dulu si singa berambut keriting tinggalnya di Hertogspark, taman depan gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila).
Tentu masih ada lagi lainnya seperti singa kembar empat. Dimana dia-dia gerangan. Well. Selamat berburu singa di belantara sejarah.
Tanggal Terbit: 10-01-2010 |