
Museum Purbakala Sangiran, Sragen, Jawa Tengah
|  |

PATUNG SELAMAT DATANG
Museum Provinsi Kalimantan Barat berdiri di tengah sebidang tanah yang luas. Halaman belakang rancak dihiasi aneka koleksi khas suku Dayak seperti rumah langun, sandung, pancar, rupa-rupa patung serta ukiran. Hadir pula alat penggerak ekonomi berupa miniatur tungku naga, pengepres karet, rumah kopra. Sebuah jangkar abad ke-16 dan replika prasasti dengan caranya sendiri mengisahkan sejarah di tanah ini. Sementara halaman depan relatif sederhana dengan patung selamat datang.
Bangunan museum mengadopsi arsitektur rumah panjang atau rumah betang. Pengunjung dengan waktu terbatas dapat langsung menuju Ruang Budaya Kalimantan Barat di Lantai II. Luas dan dengan pantas memperkenalkan kebudayaan tiga etnis besar di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu, Tionghoa.

PELAMINAN DAYAK
Segera setelah tangga menuju Lantai II adalah Galeri Dayak. Suku yang dikenang Alfred Russel Wallace sebagai orang-orang yang tidak mengambil apa yang bukan milik mereka, tidak berlebihan dalam hal makan maupun minum, tinggal di rumah panjang yang bersih dan nyaman. 'They are simple and honest,' kisah Wallace dalam The Malay Archipelago, terbit pada 1869, sepuluh tahun setelah The Origin of Species dan dibaca hingga hari ini.
Galeri Dayak menyuguhkan berbagai aspek kehidupan suku Dayak melalui koleksi topeng dan patung, panyugu (altar untuk menyelenggarakan ritual pembukaan ladang dan naik dango atau syukuran panen), pengobatan tradisional; peralatan kelahiran, kematian, sunatan sebagai inisiasi memasuki usia remaja; peralatan berburu dan meramu; perlengkapan pertahanan diri berupa perisai, sumpit, damak (mata sumpit), tombak, mandau, tangkin (parang).
Koleksi lain berupa instrumen musik (keledi, sape, gambang); permainan rakyat (congklak, gasing, takraw); bahasa simbol seperti mangkok merah dikirim dari desa ke desa dengan tujuan meminta bantuan dalam peperangan; pakaian tradisional dari kulit kayu kapuak (teureup); ambinan atau gendongan anak yang masih digunakan sampai sekarang; alat tenun dan kain tenun bermotif pohon hayat; tato berperan menangkal kekuatan jahat dan suluh roh di alam akhirat; diorama perkawinan Dayak Taman. Ruang pameran berpendingin memastikan pengunjung dapat menikmati museum dengan nyaman.

RUMAH SANDUNG
Diantara keunikan tradisi Dayak adalah ritual batalah yaitu upacara pemberian nama saat bayi berusia tujuh hari. Batalah dilakukan dengan melempar buah pinang yang dibelah. Untuk itu tujuh pinang muda dan tujuh nama disiapkan. Hanya ketika belahan pinang masing-masing jatuh dengan posisi telentang dan telungkup maka nama dapat digunakan. Iya loh, jadi timbul pertanyaan arti angka tujuh bagi masyarakat Dayak.
Diperhatikan lagi ternyata angka tujuh juga muncul di beberapa tampilan. Ibu melahirkan tidak keluar rumah sebelum tujuh hari. Bocah laki-laki setelah sunatan selama tujuh hari berpantang daging rusa, pelanduk, kura-kura, kodok. Gawai sandung atau nyandung dilaksanakan puak Kayan (Sintang), Ketungau (Ketapang), dan Taman (Kapuas Hulu) selama tujuh hari (diorama rumah sandung). Nyandung disebut juga penguburan kedua karena abu atau tulang jenazah setelah dikuburkan selama 1000 hari diambil untuk disimpan di rumah sandung yang menyerupai gapura.
Selain angka tujuh yang cukup populer, burung enggang dijumpai berkali-kali di museum. Pertama, ukiran burung enggang yang gagah di halaman belakang. Kedua, ukiran enggang di pelaminan Dayak. Ketiga, ukiran enggang di atap rumah sandung. Melacak enggang menemukan manusia tercipta sebagai bagian dari burung enggang menurut kepercayaan Dayak. Aku memang menyukai ide bahwa makhluk-makhluk saling menjadi bagian dengan cara yang misterius. Setidaknya menjelaskan mengapa ada kalanya kita bisa merasakan jiwa orang lain.

KOLEKSI TOPENG DAN PATUNG
Koleksi topeng dan patung ritual menempati ruang tersendiri. Label terutama membantu pengunjung memahami koleksi, 'Patung ritual merupakan sarana pemujaan terhadap Jubata atau roh nenek moyang, maupun media komunikasi, serta sebagai simbol kekuatan, kebenaran, kejantanan, kesuburan, dan kebijaksanaan.' Jadi topeng dan patung adalah lambang kehadiran roh leluhur; sehingga diletakkan di ladang, dango (lumbung padi), pintu masuk kampung maupun rumah, dan kuburan untuk perlindungan.
Urusan leluhur tidak pernah eksis dalam hidupku hingga suatu hari di penghujung 2008 saat jempalitan dihajar motor aku mengalami kehadiran mendiang nenekku, berujar, 'Tidak apa-apa,' dan pada hitungan kurang dari sepuluh, aku sudah berdiri meski berdarah di sana-sini. Aku percaya itu tidak terjadi karena kekuatanku sendiri. Sejak itulah aku menjadi bisa lebih menghormati kepercayaan orang lain terhadap nenek moyang mereka.

GALERI MELAYU
Koleksi Galeri Melayu atau lengkapnya Daur Hidup Suku Bangsa Melayu terdiri dari Dapur Melayu, Perlengkapan Upacara Tujuh Bulanan (Belenggang), Perlengkapan Upacara Kelahiran, Perlengkapan Kematian, Ruang Tamu Rumah Melayu, Seni Musik Melayu, Alat Musik Tanjidor, Alat Tenun Songket, dan Pengantin Melayu Pontianak.
Galeri Tionghoa dihiasi naga dan barongsai. Beberapa arca-arca kelenteng hanya menambah kesan museum tergagap ketika hendak mempresentasikan budaya, nilai, dan sejarah orang-orang Tionghoa di Bumi Khatulistiwa yang tak kalah panjang dengan usia tahun masehi. Untuk memperkenalkan budaya Tionghoa sejumlah festival sebenarnya bisa menjadi titik tolak menarik. Imlek (Festival Musim Semi), Festival Perahu Naga, Qingming atau Cengbeng (ziarah kubur) misalnya.
Berlenggang turun dari Galeri Tionghoa menuju Galeri Keramik di Lantai I. Sebagian keramik berasal dari Dinasti Song (960-1279), Yuan (1271-1368), Ming (1368-1644), dan Qing (1644-1911). Tiba di pesisir negeri ini setelah berlayar melintasi Laut China Selatan dan Selat Karimata, membawa memorinya masing-masing tentang sejarah dan dinasti yang diwakilinya.
Koleksi museum masih mencakup keramik dari Vietnam, Thailand, Jepang, Eropa, serta keramik bawah laut dan keramik lokal.

PRASASTI BATU PAHIT
Duduk di anak tangga depan Galeri Keramik. Tampak replika Prasasti Batu Pahit abad kesembilan di halaman belakang. Ditemukan di Desa Pahit, Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Isi prasasti berupa Catvari Aryasatyani (Empat Kesunyataan Mulia) yaitu ajaran Buddha mengenai eksistensi penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, jalan menghentikan penderitaan melalui Delapan Jalan Utama. Tiga diantaranya adalah ucapan benar, perbuatan benar, mata pencarian benar.
Tidak sedikit orang bertanya-tanya dan mencari kedamaian hati. Jika saja manusia lebih telaten menilik kebiasaan bertutur, berbuat, dan penghidupannya. Serumpun bambu tumbuh tak jauh dari prasasti. Rasanya dia tahu tentang banyak hal sebenarnya tak pelik.
Tanggal Terbit: 23-01-2011 |