
RUMAH KEDIAMAN BUNG KARNO DI BENGKULU (1938-1942)
Bukan perkara mudah loh mencapai Museum Negeri Propinsi Bengkulu karena beberapa opelet yang sempat berhenti tidak tahu adanya dimana. Opelet yang akhirnya aku tumpangi memberi kiat. Bilang saja mau ke Taman Budaya, seberangnya sudah museum. Sip Bang, terima kasih.
Di dekat museum, seekor bondol peking mengintip dari ranting pohon tanjung yang dirusuhi benalu. Selamat pagi, hey burung kecil..
Tadinya senang karena berhasil mencapai museum dengan kendaraan umum tapi kok ya museum masih tutup. Padahal Sabtu mestinya museum buka. Yah sutraalah meski hati gondok *kapannye gue ke sini lagi* Haaa! *treak ga guna dalam hati*

PAPAN DEKAT SIMPANG LIMA
Jalan kaki untuk melupakan malang *every cloud has a silver lining*. Lalu naik opelet sampai the so-called simpang lima. Pak becak setengah mengantuk menawarkan jasa, sok yakin aku bilang mau ke rumah Ibu Fatmawati saja kok Pak. Hehe...untung memang dekat.
Menarik perhatianku sebuah papan sederhana terbitan Dinas Kebersihan Kota di sekitar simpang. Tertulis: Pak Uncu la betekad / Idak endak lagi / Buang sarok sembarangan! / Ambo jugo. Sepiring hidangan Melayu Bengkulu hey *cmiiw* kira-kira himbauan: ayo ga buang sampah sembarangan *cmiiw*. Setuju Pak Uncu, siapapun dikau. Tapi denger2 Pak Uncu itu artinya 'om' ya *cmiiw* **wolooo..disuguhi cwimi mlu mana sosronya euy**

RUMAH IBU FATMAWATI SOEKARNO
Menurut penjaga rumah, Rumah Ibu Fatmawati adalah replika. Mendengar beberapa kata itu seorang pengunjung dari Rejang Lebong sama kagetnya denganku. Tiba-tiba kami berdua kehilangan kata. Padahal tadinya ramai gantian tanya ini tanya itu..hehe...
Dari Rumah Ibu Fatmawati, perjalanan lanjut menuju destinasi yang paling dinanti-nantikan yakni rumah yang dihuni Bung Karno saat di Bengkulu. Seorang laki-laki menunjukkan jalan potong jadi aku ga perlu muter jauh. Thanks, Pak.
Coba inga-inga. Kenapa BK diasingkan Belanda ke Bengkulu. Kok ya ingatnya cumah BK diasingkan ke Ende. Cerita kita mulai dari BK, Sartono dan teman-teman lainnya bikin PNI (1927) di Bandung dengan semboyan 'Indonesia Merdeka SEKARANG!' Awalnya mengamati, tapi lama kelamaan Belanda jadi gerah apalagi saban pidato di depan massa BK tak segan melontarkan kata-kata seperti merdeka, penghisapan, dan mengejek Belanda.
Tak heran jika kemudian BK ditangkap dan dijebloskan ke Penjara Banceuy (Desember 1929). Sidang bergulir selama periode Agustus-Desember 1930 di pengadilan yang sebutannya Landraad tempo itu. Gedung Landraad masih lestari, sekarang dinamai Gedung Indonesia Menggugat karena pledoi atau pidato pembelaan BK dikasih itu judul. Meski isi pledoi memukai BK dkk tetap dinyatakan bersalah.

KOLEKSI BUKU BUNG KARNO
BK kemudian dijatuhi hukuman penjara empat tahun potong masa tahanan. Masa penjara dijalani di Sukamiskin. Sebulan sebelum masa jabatannya berakhir, Gubernur Jenderal De Graeff memberi grasi karena tekanan dan protes resmi dari ahli-ahli hukum. BK pun bebas pada 31 Agustus 1931.
Keluar dari Penjara Sukamiskin, BK langsung sibuk galang persatuan, mengobarkan semangat kemerdekaan. Rame lagi *kagak ada matinye nih orang*. Setelah brosur Mencapai Indonesia Merdeka ditulis BK, pada 1 Agustus 1933 BK ditangkap *lagi*. Tak sampai dua tahun setelah menghirup kebebasannya. Kali ini gubernur jenderal yang berkuasa De Jonge 'kontan' mengasingkan 'si ekstremis' BK ke Ende *tanpa diadili lagi*. Naga2 bukan cuman jenggot yang kebakar hey...
Jadi begitulah, BK dikirim ke Ende, sekarang satu dari delapan kabupaten di Pulau Flores, NTT. Di sana BK tinggal selama hampir lima tahun (1934-1938) lalu dipindahkan ke Bengkulu karena malaria *kasus malaria di NTT dan Papua sampai sekarang tertinggi di Indonesia*. Jadi BK diasingkan ke Bengkulu sebenarnya kagak kenape-nape yeah, lanjut doang dari pengasingan di Ende. Alias ga ada prelude *preseden politik* keyek sebelumnya.

RUMAH KEDIAMAN BUNG KARNO
So! Inilah tempatnya. Tertulis di halamannya 'Rumah Kediaman Bung Karno pada waktu pengasingan di Bengkulu (1938-1942)'. Seorang laki-laki muda berpose ga selesai2nya, jadi aku jepret sekalian dia, sebelum melangkah menuju rumah kediaman BK dengan hati berbunga-bunga seperti waktu jatuh cinta pada pandangan pertama *ou..oukh..lebay*
Lagi cuman sebentar di dalam rumah datang sekelompok turis, isinya sebagian besar ibu-ibu. Heboh mencari sumur di belakang rumah *sebenar-benarnya yang bapak-bapak juga ga kalah semangat*. Katanya air sumur itu bisa bikin awet muda. Haa..benar ya bu, ikutan dong.. *waras...waras* Mau awet muda resepnya ya tidurnya ga malam2, bangun pagi, olahraga, lapang dada, seringan umbar senyum daripada umbar marah, konsumsi sayuran hijau, minum jus *wolaa...daripada...daripada..mending nimba deh* hehe..
Sejumlah buku koleksi BK tersimpan di almari. Ini kan bagian yang diceritakan dalam Petite Histoire Rosihan Anwar. Tentang mahasiswa Universitas Leiden, anaknya Hooykaas residen Bengkulu. Dia kerap bertemu dan meminjam buku dari perpustakaan BK. Suatu hari dia bertanya mengapa BK begitu giatnya belajar. Jawab BK, ‘Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena insya Allah saya akan menjadi presiden negeri ini.’ Whoa...keren! Kau memang presidenku, Bung!

REPLIKA SEPEDA BUNG KARNO
Tahun pertama pengasingan di Bengkulu, BK dan Ibu Inggit telah menikah hampir 15 tahun. Dalam banyak hal suka-duka mereka lalui bersama. Kenyataan yang tak bisa dipungkiri adalah Ibu Inggit setia mendukung perjuangan BK sejak awal, dilukiskan Her Suganda (2010), '…memberikan dorongan, inspirasi, dan semangat, dengan keyakinan yang tak pernah pupus bahwa suatu saat, cita-cita suaminya yang juga cita-cita seluruh bangsa Indonesia merebut kemerdekaan, akan tercapai.'
Adalah BK sendiri yang menyebut Ibu Inggit sebagai 'Srikandi Sejati Indonesia' saat berpidato di depan massa yang menyambutnya di Gedoeng Nasional Indonesia, Surabaya. Dalam pidato yang disampaikan sehari setelah keluar dari Penjara Sukamiskin tersebut, BK memuji ketabahan dan jasa-jasa Ibu Inggit menghiburnya di saat gelap sehingga pendengar pun terharu (Simbolon, 2007).
Aku menyusuri setiap pojok rumah mencoba menemukan di sini memori tentang Bung Karno, juga Inggit Garnasih. Foto Ibu Inggit dan Bung Karno memegang sepeda (1939) sedangkan Ratna Juami duduk di sadel belakang melayangkan aku kepada sebuah potret yakni Ibu Inggit ketika melayat di Wisma Yaso. Perempuan yang ikhlas mencintai Bung Karno hingga akhir hayatnya. Ah! Kutatap wajah tulusmu Ibu melainkan sebaris puisi yang bisa kuingat: ...and, if God choose / I shall but love thee better after death.

SEBUAH TEMPAT TIDUR DI KAMAR BUNG KARNO
Sebelum meninggalkan museum, aku mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Kamar tidur BK; ranjang besi yang tidak ada lagi kelambunya; dua foto ukuran besar di kamar tidur, yaitu rumah rancangan BK masing-masing di Kebun Keling dan Pasar Baru; lemari buku. Lemari kostum kelompok tonil Monte Carlo akhirnya tak jadi aku foto karena tak punya ide bagaimana membuatnya terlihat cantik.
Lagi siap-siap jepret sepeda, kedengaran saja staf menginformasikan kepada seorang bapak yang bertanya tentang sepeda Bung Karno. Kereta angin yang tadinya aku kira asli sepeda yang pernah digunakan Bung Karno, ternyata replika *lagi*. Alhasil, foto asal jadi karena semangat tiba-tiba saja luruh *payaah* hehe...
Matahari mulai menyengat saat aku menuju makam Sentot Alibasyah, panglima pasukan Dipanegara diasingkan Belanda ke Bengkulu pada 1833. Lalu ke Gedung Daerah untuk foto gerbang tabot, lanjut ke kuburan Inggris dan sempat ngelayap ke Danau Dendam Tak Sudah. Dari danau lalu pergi ke Pantai Panjang.

DANAU DENDAM TAK SUDAH
Bengkulu, 29 November 2008. Duduk di pinggir danau, minum degan dan jagungan. Daun-daun teratai terapung di permukaan air. Sekuntum kuncup berdiam dalam kesendiriannya. Bukit Barisan tampak sayup di kejauhan. Kiranya seperti itulah pemandangan ketika Morse dan Parish (1808) menulis tentang Bengkulu, ‘The adjacent country is mountainous and woody...and the mountains always covered with thick clouds...’
Tanggal Terbit: 15-01-2012 |