
PATUNG LEMBUSWANA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG, KALIMANTAN TIMUR
'Jalan rusak,' kata Bu Rian di kantor Inhutani Balikpapan, Kalimantan Timur. Beberapa detik pertama aku tidak melihat apa hubungan ke Bukit Bangkirai dengan jalan rusak. Terlalu shok untuk percaya artinya tidak bisa pergi ke sana. Padahal satu-satunya tujuanku terbang ke Balikpapan adalah KWA Bukit Bangkirai.
Life is a series of surprises. Emerson pernah bilang. Yeaah..sekali-kali biarlah begitu.
Tak kesampaian tujuan semula maka pergilah aku ke Samarinda karena itu negeri asal beberapa temanku. Lalu Tengggarong. Dari Terminal Batu Ampar aku naik bus tiga perempat yang sesak menuju utara, melalui Taman Hutan Rakyat (Tahura) Bukit Soeharto. Di jalan yang berkelok-kelok Pak Supir sempat melontar komentar perihal bagian dalam bukit sudah gundul karena tambang batubara, pohon-pohon hanya yang terlihat dari jalan.

MUSEUM MULAWARMAN
Museum Negeri Provinsi Kalimantan Timur 'Mulawarman' berbeda dengan kebanyakan museum negeri tidak terletak di ibukota provinsi, melainkan Tenggarong yang berjarak sekitar 40 kilometer dari Samarinda. Di sekeliling museum terdapat makam para sultan Kutai Kartanagara, Kedaton Koetai Kartanagara, Masjid Jami Hasanuddin, Planetarium Jagad Raya.
Museum dinamai menurut penguasa Kerajaan Kutai (corak Hindu) ketiga. Kerajaan tertua di Nusantara tersebut dikenali keberadaannya dari Prasasti Mulawarman berupa yupa atau tugu peringatan upacara kurban dari abad ke-5.
Setelah Prasasti Mulawarman tampaknya sulit melacak peninggalan tertulis hingga Kakawin Nagarakretagama (1364) menyebut Tanjung Kute sebagai salah satu negeri bawahan Majapahit.
Tanjung Kute yang dimaksud mungkinkah adalah Kerajaan Kutai Kartanagara yang bercorak Islam, diperkirakan berdiri pada awal abad ke-14. Semula berkedudukan di dekat Samarinda namun ibukota dipindahkan ke Tenggarong sejak abad ke-17.

RUANG PAMERAN
Museum Mulawarman terletak di Jalan Diponegoro, menghadap Sungai Mahakam. Bangunan berarsitektur kolonial dibangun sebagai Keraton Kutai Kartanagara pada 1932. Beberapa dekade kemudian, keraton diserahkan kepada pemerintah dan diresmikan sebagai Museum Mulawarman pada 1971. Oleh sebab itu lambang kesultanan yang disusun oleh Sultan Alimuddin masih terlihat di 'dahi' fasade bangunan.
Begitu pula sebagian koleksi museum berkaitan dengan Kesultanan Kutai Kartanagara. Regalia atau pusaka kerajaan diantaranya kursi singgasana sultan dan permaisuri berusia tiga perempat abad. Sepasang lembuswana, lambang kesultanan mengapit kursi singgasana yang dibuat di Burma pada 1855. Di belakang lembuswana tergantung lukisan Sultan Sulaiman (1845-1899) dan penerusnya Sultan Alimuddin (1899-1910).

MAHKOTA KUTAI KARTANAGARA MUSEUM NASIONAL, JAKARTA
Sedangkan regalia seperti mahkota dan pedang kebesaran Sultan Kutai Kartanagara dimiliki Museum Nasional dan dipamerkan di Ruang Khazanah, Gedung Gajah Lantai II. Sejumlah perhiasan emas yang molek dari Kutai berupa kalung naga, kelat bahu berbentuk garuda, perhiasan dada, aneka asesoris, kotak pekinangan serta topeng klono dari kayu, emas, berlian dipamerkan di Ruang Khazanah Emas, Gedung Arca Lantai IV.
Jadi selain Museum Mulawarman, peninggalan Kesultanan Kutai Kartanagara juga dijumpai di Museum Nasional, Jakarta.

KALUNG WISNU
Menarik adalah sebuah kalung menurut label museum, 'Kalung wisnu ini merupakan atribut untuk penobatan Sultan Kutai Kartanagara.' Sementara sumber lain menyebut kalung wisnu dikenakan oleh putra mahkota. Foto pernikahan putri ketiga Sultan Parikesit, tampak pengantin pria mengenakan kalung serupa. Tapi bukan itu yang menarikku melainkan Wisnu. Sang Dewa, tinggi 12 cm memegang cakra di tangan kanan dan sangka di kiri. Masing-masing sebagai lambang pencerahan spiritual dan kekuatan mencipta serta menjaga jagat raya. Dugaan E. Edwards McKinnon, Wisnu ini berasal dari Majapahit.
Kita mengenal patung Raja Airlangga menunggang garuda dari Candi Belahan (garuda kendaraan Wisnu). Jejak telapak kaki Raja Purnawarman dari Tarumanegara di Prasasti Ciaruteun disebut-sebut sebagai telapak kaki Wisnu. Dengan kata lain raja-raja dianggap sebagai inkarnasi Wisnu. Sebagai dewa pemelihara alam maka identifikasi ini tentu diri tak mengherankan. Namun menariknya ternyata masih terlacak 'pengaruh Wisnu' di kerajaan bercorak Islam setelah berabad-abad runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha.

TENUN ULAP DOYO
Koleksi etnografika berupa topeng hudoq; satu set senjata tradisional berupa kelian (perisai), sumpit, anak sumpit, bumbung yaitu tempat anak sumpit dari bambu; hingga kerajinan ulap doyo.
Dalam bahasa Dayak 'ulap' artinya kain panjang dan 'doyo' (Cucurligo sp.) adalah nama tumbuhan keluarga Hypoxidaceae yang memiliki daun seperti rumput. Dikenal lima jenis doyo yang dapat digunakan untuk menghasilkan tenun ulap doyo yaitu temoyo, pentih, tulang, biang, lingau.
Di Jawa Barat, doyo disebut daun congkok. Saat haiking aku sering melihat daun congkok melambai sayup seperti hendak mengenyahkan angin yang mengusilinya. Konon itu yang menginspirasi orang Belanda menyebutnya rusteloze zieltje, jiwa yang resah. Ternyata bisa ditenun jadi ulap doyo. Seperti sulap saja rasanya jika tidak melihat di museum perjalanan panjang daun menuju ulap doyo.

JEMBATAN MAHAKAM
Dihitung dari hari aku tak jadi ke Bukit Bangkirai, tiga tahun berlalu. Wajah kota Tenggarong pun sudah berubah beberapa di tempat. Jembatan Mahakam tak ada lagi. Patung Lembuswana karya Nyoman Nuarta di Pulau Kumala berganti patung berdiri. Kota sudahkah terang di malam hari, dan apa kabar Museum Mulawarman. Semoga telah memantapkan diri sebagai museum provinsi yang mampu mempresentasikan selayang pandang sejarah maupun kekayaan budaya suku-suku di Kalimantan Timur.
...
Tenggarong, Maret 2009. Rasi Ursa Major terang bersinar di atas Mahakam. La vie en rose mengusik sunyi bintang-bintang. Cupid yang terpesona sasar panahnya. Tapi angin bikin bau durian lebih menggoda..
Tanggal Terbit: 04-03-2012 |